
Ada “Momster” di Rumah Kami
“Diam!” Lagi-lagi Alina berteriak ketika mendengar anak bungsunya yang masih berumur dua tahun menangis karena rebutan mainan dengan kakaknya yang masih berumur 4 tahun.
“Abang sudah berapa kali bunda bilang, berbagi mainannya sama adek. Kamu tuh ya sama adik sendiri aja pelit banget sih.”
“Tapi adek ngerusak mainan abang bun.” Si abang berusaha membela diri.
“Diam, masuk kamu ke kamar. Bunda hukum dua menit, dan berikan mainannya ke adek sekarang.”
Alina menatap anak sulungnya dengan tajam, mengambil dengan paksa mainan yang sedang dipeluknya, lalu memberikan pada si bungsu agar reda tangisannya. Si bungsu senang, si sulung masuk ke kamar dengan menahan rasa sedihnya. Bagi Alina masalah hari itu selesai.
Tetapi masalah yang lebih besar bersiap untuk muncul ke permukaan. Orangtua bukan raksasa jahat yang bertugas mencari kesalahan orang lalu menghukumnya. mengambil langkah pendek dengan tolak ukur orang dewasa seolah anak akan mengerti. Padahal dunia anak jelas berbeda dengan dunia orang dewasa. Apalagi orang tua baru bertindak ketika kesalahan telah dilakukan anak, bukan mencegah, mengarahkan, dan membimbing sebelum kesalahan terjadi.
Wajar jika anak merasa ibunya adalah “momster”, raksasa jahat yang yang lupa tidak memberikan perhatian positif ketika anaknya berbuat baik. tidak memberikan pujian, ciuman, senyuman, acungan jempol, anggukan kepala, bahkan menoleh pun tidak; ketika anaknya mandi tepat waktu, ketika sarapannya habis tak bersisa, ketika membuang sampah pada tempatnya atau ketika sesekali menutup pintu dengan pelan.
Yang jadi perhatian ibu hanya ketika anak membanting pintu, menumpahkan minuman di lantai, mengotori dinding dengan kakinya, terlambat mandi, lupa membereskan mainan, membiarkan sikat gigi kotor di bak mandi, menyimpan handuk tidak ditempatnya, dan masih banyak lagi kesalahan lainnya. kesemuanya ini segera disambut bunda dengan perhatian negatif, berupa teguran, kata-kata keras, ancaman, perintah, bahkan hukuman.
Jika kondisi ketidakseimbangan antara perhatian positif dan negatif ini terus berulang, wajar bukan jika anak-anak merasa ada “Momster” di rumahnya?
Reaksi dari ibu yang berubah menjadi “Momster” ini dampaknya tak main-main. Kemungkinan pertama, anak-anak akan belajar untuk menjadi penentang aktif. Keras kepala, suka membantah dan membangkang kehendak orang tua. Mereka marah karena sang ibu tidak menghargai dirinya sebagai manusia. untuk melawan jelas tidak mungkin karena sang “Momster” mempunyai kekuatan besar.
Maka yang dipilih adalah jalan untuk menyakiti hati ibunya, hati orangtuanya. mereka akan senang jika melihat orangtuanya jengkel dan marah karena ulahnya. Semakin bertambah emosi orang tua, semakin senang mereka, bahkan rela dihukum asal bisa membuat orang tua jengkel.
Kedua, tipe pemberontak dengan cara halus. Sadar bahwa tubuh kecilnya tak mampu menandingi kekuatan “Momster” yang tak lain adalah ibunya sendiri, mereka memilih sikap diam. Apatis terhadap nasihat, mungkin kelihatannya mendengar namun seperti masuk telinga kanan dan keluar lagi telinga kiri.
Ketiga, tipe selalu terlambat. Anak-anak seperti ini baru mau mengerjakan suatu perintah setelah terlebih dahulu melihat orang tuanya jengkel, marah dan ngomel karena kemalasannya.
Lalu bagaimana mengusir “Momster” yang kadung hadir di rumah?
Pastikan Ibu seimbang dalam memberikan perhatian. Fokuslah bertindak sebelum kesalahan itu terjadi dengan mencegah, mengarahkan, dan membimbing ananda, bukan sebaliknya. (abn)